Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa beras merupakan salah satu komoditas pangan yang berkontribusi besar terhadap inflasi pangan dan sangat mempengaruhi angka inflasi nasional.
Berdasarkan data BPS, harga beras pada bulan Oktober 2022 mengalami inflasi 1,13 persen yang menyumbang inflasi nasional sebesar 0,34 persen.
Mengutip data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional, harga beras medium di tingkat konsumen pada Oktober berada di angka Rp11.090 per kg, sementara harga beras medium per 27 November di harga Rp11.160 per kg. Kenaikan harga beras sudah terjadi sejak Juli 2022 hingga November dengan kenaikan 4,3 persen dari harga Rp10.700 per kg.
Beras merupakan komoditas pangan yang paling tinggi menyumbang inflasi dikarenakan merupakan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyebutkan kenaikan harga beras tersebut dikarenakan adanya kenaikan harga pokok produksi (HPP) di tingkat petani. HPP beras naik lantaran kenaikan harga BBM dan kenaikan harga pupuk.
Selain itu, anomali cuaca juga mempengaruhi produksi beras nasional yang menyebabkan pasokan menurun. Sejumlah daerah Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung, mengalami gagal panen dikarenakan lahan sawah yang terendam banjir.
Salah satu tugas dan fungsi Perum Bulog adalah mengendalikan harga beras di pasaran agar tidak melonjak tinggi dengan mengintervensinya melalui program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) atau operasi pasar. Bulog menggelontorkan pasokan beras yang dimilikinya dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar, sekaligus untuk membanjiri suplai beras di pasaran. Sesuai dengan prinsip ekonomi, ketika terjadi kelebihan pasokan dibandingkan permintaan, maka harga akan turun.
Namun yang menjadi tantangan saat ini adalah stok beras Bulog yang mulai menipis dari bulan ke bulan. Badan Pangan Nasional menyebutkan setidaknya Bulog harus memiliki stok 1,2 juta ton beras untuk kebutuhan KPSH atau operasi pasar dan keperluan darurat, seperti bencana alam atau bantuan sosial.
Pada 16 November, stok beras Bulog, baik Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang memiliki kualitas medium maupun beras komersil dengan kualitas beras premium sebanyak 651 ribu ton. Stok tersebut terus menurun menjadi 594 ribu ton per 23 November, yang terdiri dari 426.573 ton CBP dan 168.283 ton beras komersial.
Stok beras tersebut bisa terus turun menjadi 300 ribu ton karena Bulog masih melakukan operasi pasar setiap bulannya dengan menggelontorkan 120 ribu hingga 150 ribu ton per bulannya.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan pihaknya hingga saat ini masih terus menyerap beras produksi dalam negeri di sejumlah penggilingan. Namun jumlah tersebut tidaklah banyak.
Bukog mencatat saat ini sudah tidak ada lagi panen yang dilakukan oleh petani, melainkan masih dalam masa tunggu panen. Sehingga Bulog tidak bisa membeli langsung gabah dari petani sebagaimana biasa dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, terdapat stok 1,8 juta ton beras yang tersedia di penggilingan di seluruh Indonesia. Namun Bulog tidak bisa membeli beras tersebut untuk memenuhi stok, lantaran pihak penggilingan perlu menjaga pasokan untuk pangsa pasarnya sendiri.
Alhasil, Bulog tidak memiliki kemungkinan untuk memenuhi stok beras 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2022 jika mengandalkan produksi beras dalam negeri. Sehingga opsi terakhir yang harus diambil adalah pengadaan beras dari luar negeri atau impor. Meskipun opsi impor tersebut mencederai prestasi Indonesia yang diberikan oleh lembaga internasional IRRI dan FAO atas tidak melakukan impor beras dalam tiga tahun berturut-turut.
Memihak petani lokal
Bulog sendiri telah berkomitmen 100 persen berpihak pada petani dalam negeri. Karena itu opsi impor beras tidak akan dilakukan apabila produksi dalam negeri tinggi dan stok beras tersedia.
Budi Waseso membuktikan keberpihakannya kepada petani dalam negeri dengan Bulog di bawah kepemimpinannya tidak pernah impor atau membeli beras dari luar negeri untuk memenuhi stok CBP sejak empat tahun terakhir.
Bahkan, isu impor beras yang ditugaskan kepada Bulog saat sedang panen raya pada awal 2021 tidak dilakukan oleh Budi Waseso karena penyerapan produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi stok Bulog. Kondisi berbeda pada saat ini di mana stok Bulog benar-benar menipis, sementara tidak ada produksi padi dalam negeri yang bisa diserap oleh Bulog.
Budi berharap jangan sampai dalam masalah ini seolah-olah Bulog itu tidak berpihak kepada petani.
"Justru kami sangat berpihak pada petani. Karena itu kami buktikan, saya buktikan dengan jajaran Bulog itu sudah empat tahun CBP tidak pernah impor," kata Budi Waseso.
Bulog membeli beras komersil sebanyak 500 ribu ton di luar negeri untuk memenuhi stok. Karena apabila Bulog tidak menambah stok cadangan beras, implikasinya adalah harga beras yang bisa terus melambung tinggi lantaran tidak adanya intervensi dari Bulog.
Jika harga beras terus-terusan melonjak, maka inflasi pangan terjadi, kemudian berdampak pada inflasi nasional, dan akibatnya adalah daya beli masyarakat menurun, keterbatasan akses pangan pokok oleh masyarakat, yang bisa merambat ke aspek sosial ekonomi.
Stok beras di Indonesia secara umum saat ini masih aman hingga akhir tahun. Data Kementerian Pertanian, stok beras nasional masih ada 8,05 juta ton, dengan rincian sebanyak 1.868.414 ton terdapat di penggilingan, 831.805 ton di pedagang, dan sisanya berada di rumah tangga.
Artinya, ketahanan pangan komoditas beras Indonesia masih terjamin hingga akhir tahun. Hanya saja, stok beras Bulog yang menipis dan berpotensi menyebabkan naiknya harga beras nasional dan berdampak pada inflasi Indonesia.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022